Di Tiongkok kuno, Kaisar Qin membakar buku untuk mengontrol pikiran rakyat. Ia membakar buku-buku yang tidak sesuai dengan ajarannya–termasuk karya-karya klasik dan sejarah– untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menghapuskan pemikiran yang dapat menantang otoritasnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Di tahun 2025 ini buku “terbakar” secara perlahan oleh kebijakan yang tak berpihak, harga yang tak terjangkau, dan pembajakan yang merajalela.
Bayangkan sebuah roda yang harusnya menggerakkan mesin literasi: buku sebagai bahan bakar, penulis sebagai pengemudi, dan pembaca sebagai penumpang yang haus pengetahuan. Di Indonesia, roda ini macet.
Bahan bakarnya mahal—harga buku cetak di sini 2,5 kali lebih mahal daripada di Tiongkok jika mengacu pada laporan World Intellectual Property Organization (WIPO) karena biaya kertas impor dan pajak produksi yang mencapai 10-15%.
Pengemudinya, para penulis, terjepit pajak royalti 10-30%. Sementara penumpangnya, pembaca, lebih memilih “jalan tol” pembajakan.
Tak mengherankan bila menurut laporan salah satu komunitas di tahun 2022, 67% buku yang beredar adalah bajakan. Kita dengan begitu mudah menemukan lapak-lapak penjaja buku bajakan di marketplace maupun di toko-toko buku fisik. Hal ini mencerminkan kegagalan negara melindungi hak intelektual.
Pemerintah? Ia seperti montir yang sibuk mengutak-atik mesin lain, sambil melupakan oli dasar bernama “akses pengetahuan”. Alih-alih mencontoh Tiongkok yang menyubsidi 35-45% biaya produksi buku pendidikan, Indonesia justru mematok PPN 10% untuk buku nonpelajaran.
Hasilnya, kendati tingkat literasi dasar negeri kita sudah mencapai 96%; budaya baca dan skor PISA kita masih memprihatinkan (peringkat 69 secara global pada tahun 2022). Padahal, berdasarkan studi OECD, setiap 1% peningkatan literasi, berkontribusi 0,5% pada pertumbuhan PDB.
Budaya membaca Indonesia memang masih sangat memprihatinkan. Beberapa temuan penelitian menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Misalnya, data UNESCO mengindikasikan bahwa minat baca Indonesia sangat rendah, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki minat baca tinggi. Selain itu, survei dari Central Connecticut State University pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca.
Berkaca dari India dan Tiongkok
Di Tiongkok, literasi adalah senjata strategis. Sejak 2015, pemerintah merenovasi 580.000 perpustakaan desa dan meluncurkan platform digital seperti WeChat Read yang menyediakan 6,5 juta buku dengan harga 90% lebih murah daripada cetak . Hasilnya, tingkat literasi melesat dari 77% (1990) menjadi 97% (2020) berdasarkan temuan Bank Dunia. Mereka paham: buku murah adalah investasi jangka panjang.
Di India, gerakan One District One Book mewajibkan setiap distrik menerbitkan satu buku lokal per tahun dengan subsidi penuh. Hasilnya, India menjadi eksportir buku terbesar ke-3 dunia menurut data International Publishers Association (IPA) tahun 2021 dengan nilai ekspor $6,7 miliar.
Sementara Indonesia? Harga buku pelajaran SD di pedalaman Papua bisa mencapai Rp150.000—hampir setara upah harian buruh. Royalti penulis pun dipajaki hingga 30%, padahal di AS, pajak royalti hanya 15% dengan potongan biaya kreatif . Akibatnya, hanya 1 dari 10 penulis Indonesia yang mampu hidup layak dari menulis nenurut hasil survei salah satu asosiasi penulis.
Ironisnya, pembajakan justru difasilitasi oleh minimnya penegakan hukum. Buktinya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menerima setidaknya 13 pengaduan terkait pelanggaran hak cipta pada tahun 2022. Padahal, solusi sudah ada di depan mata.
Tiongkok membuktikan bahwa subsidi silang—memangkas pajak untuk buku pendidikan dan mengenakan tarif lebih tinggi pada buku hiburan—bisa menekan harga. India, melalui National Education Policy 2020, menggratiskan 500 judul buku akademik di platform digital.
Indonesia bisa meniru dengan mengalokasikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk membiayai cetak massal buku esensial atau menggratiskan hak cipta buku teks, seperti yang dilakukan India.
Literasi Sebagai “Punggung” Kemajuan
Sebuah hasil kajian di 15 negara berkembang yang diterbitkan di Journal of Development Economics menunjukkan: setiap kenaikan 10% akses buku di komunitas miskin meningkatkan pendapatan rumah tangga 1,5% .
Di Brasil, program Literatura em Minha Casa yang membagikan 2 juta buku gratis ke daerah terpencil (2018-2022) berhasil mengurangi angka putus sekolah sebesar 18%. Di Indonesia, proyek serupa seperti Gerakan Indonesia Membaca justru mandek karena anggaran tersedot untuk proyek infrastruktur fisik.
Pembajakan pun bisa dilawan. Malaysia membuktikannya: dengan UU Hak Cipta Digital (2020) yang menghukum pembajak dengan denda hingga RM50.000 (≈Rp170 juta). Melalui kampanye “Beli Asli, Bangga Karya”, tingkat pembajakan buku turun dari 60% (2010) menjadi 20% (2022).
Sementara Indonesia, meski punya UU Hak Cipta No. 28/2014, penegakannya setengah hati. Teknologi seperti blockchain untuk melacak royalti—seperti diterapkan Jepang pada platform BookTrack—bisa menjadi solusi, tetapi belum diadopsi.
Temuan The Lancet Public Health juga mengingatkan: rendahnya literasi berkorelasi dengan 45% peningkatan kerentanan hoaks kesehatan. Di masa pandemi, 68% warga Indonesia percaya pada informasi palsu tentang vaksin. Bandingkan dengan Vietnam, negara dengan literasi 95% yang cakapan vaksinasinya mencapai 98% berkat kampanye berbasis buku dan komik edukasi. Literasi bukan sekadar baca-tulis, tapi tameng peradaban.
Epilog
“Buku adalah jendela, tetapi ketika jendela itu dikunci, bangsa hanya akan melihat dunia melalui lubang kunci.” Begitulah kata salah satu maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Indonesia perlu memutus lingkaran setan ini. Turunkan pajak royalti penulis menjadi 5% (atau lebih rendah). Perangi pembajakan dengan teknologi blockchain dan denda progresif. Jadikan buku sebagai kebutuhan dasar—seperti sembako—dengan menghapus PPN buku nonpelajaran.
Kita perlu belajar dari Tiongkok yang percaya bahwa pengetahuan murah adalah jalan menuju masyarakat kritis dan inovatif. Seperti kata pepatah Tiongkok, “Sebuah negara maju bukan karena sumber dayanya, tapi karena warganya membuka buku.”