4 Hal yang Kupelajari Selama Melewati Quarter-Life Crisis

Quarter-Life Crisis.

Frase ini begitu populer bagi kawula muda. Khususnya yang baru memulai perjalanan kariernya.

Ya. Quarter-Life Crisis memang paling banyak dialami oleh mereka yang saat ini berusia antara 25-35. Mereka yang saat ini tengah digalaukan dengan berbagai pilihan hidup. Tak heran beberapa pertanyaan berikut kerap mereka.

Kapan nikah?

Kapan lanjut S2?

Haruskan berpindah industri?

Bisnis apa yang mau ditekuni?

Beranikah banting setir profesi?

Perlukah pulang kampung sejenak sebelum bekerja lagi? 

Beranikah menjadi Self-Employee atau Freeelancer penuh waktu? 

Dan seterusnya. Dan seterusnya. 

Saya pribadi, mulai merasakan gejala Quarter-Life Crisis sejak 2012 – tahun ketika saya menamatkan jenjang S1. Jika saya ingat-ingat lagi, “turbulensi jiwa” itu saya alami hingga tahun 2018. Jadi, sekira enam tahun saya mengalaminya dengan puncak kegalauan terjadi di tahun 2016 ketika saya memberanikan diri untuk menikmati jeda selama setahun alias Sabbatical.

Lantas, apa yang kupelajari selama masa pancaroba itu? Kira-kira berikut hikmahnya.

Mengenali Diri Sendiri Itu adalah Kuncinya

Kebanyakan anak muda yang mengalami Quarter-Life Crisis tidak memahami dirinya sendiri. Mereka buta dengan kelebihan, kekurangan, bakat, minat, passion, atau kepribadian sendiri. Tak mengherankan mereka terjerembab bertahun-tahun menghadapi Quarter-Life Crisis yang seolah-olah tak berkesudahan. Saya sendiri memanfaatkan Sabbatical untuk mengenali diri sendiri lebih baik.

Menikmati Proses itu Penting

Tak sedikit Gen Y maupun Gen Z yang ingin “terburu-buru” sukses di usia muda. Tidak salah memang. Namun, yang salah adalah ketika mereka tidak mau menikmati proses. Tidak ada progress tanpa proses. Oleh karena itu, kita harus ikhlas menikmati segala hal yang ditawarkan oleh hidup pada diri kita. Seberat apapun tantangan yang kita miliki.

Bahagia itu Tanpa Syarat

Sesungguhnya semua orang mendambakan kebahagiaan. Karena segala hal yang kita lakukan memang mencerminkan apa yang menurut kita bisa membawa kebahagiaan. Sayangnya, seringkali anak muda justru tergiur dengan kebahagiaan semu. Mereka pikir bahagia itu ditentukan oleh cuan, jumlah likes atau followers di media sosial, ketenaran, pangkat, atau prestas duniawi lainnya. Padahal, siapapun bisa bahagia tanpa ditentukan oleh benda atau kejadian yang di luar kontrol kita.

Setiap Orang Memiliki Jalan Masing-Masing

Mungkin ini terdengar begitu klise. Namun toh memang begitu kenyataannya. Seringkali anak muda galau karena merasa insecure ketika melihat teman sebayanya kelihatan lebih tampan/cantik, sukses, terkenal, bahagia,  atau memiliki sesuatu yang wah. Mereka tidak menyadari bahwa hampir semua orang hanya memperlihatkan hal-hal yang indah saja di media sosialnya. Mereka kurang menyadari bahwa semua orang memiliki jalan masing-masing. Maka, membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain hanya malah membuat diri kita tidak bahagia. Mereka lupa bahwa yang perlu dibanding-bandingkan adalah pencapaian diri kita sendiri saat ini dengan sebelumnya. Apakah ada kemajuan? Apakah lebih baik? Atau justru sebaliknya? Ini nih yang perlu dievaluasi.

Nah, itulah 4 hal yang kupelajari selama “mengidap” krisis seperempat baya. Saat ini, Alhamdulillah aku mulai menikmati perjalanan hidup yang digariskan oleh Tuhan.

Saat ini aku merasa bahagia. Karena aku tahu, bahagia adalah pilihan.

Bagi teman-teman yang saat ini sedang mengalami Quarter-Life Crisis, nikmati saja prosesnya. Karena kelak kamu pasti akan melewatinya.

Cintai takdirmu. Hidup hanya sekali.

 

Agung Setiyo Wibowo

Jakarta, 10 Juni 2022

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply