Menakar Daya Saing Indonesia

 

Seperti yang mungkin sebagian dari Anda telah ketahui, negara kita merupakan bagian dari G-20. Sebuah blok yang menjadi kumpulan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Kita bolehlah sedikit berbangga mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk dalam blok tersebut.

Namun, apa guna terlalu terbuai dengan status? Faktanya, NKRI memang memiliki semua syarat untuk menjadi negara besar. Dari penduduk saja kita terbesar keempat di jagad raya. Dari geografis, tidak ada negara manapun yang membantah kita sebagai negara kepulauan terbesar di muka bumi. Dari kekayaan alam, saya tak perlu menjelaskan lagi. Karena sejak era kolonial, negeri ini sudah menjadi lahan empuk untuk terus dikeruk isinya. Anda barangkali sudah bosan dengan info klise tersebut.

Dalam Laporan Daya Saing Global 2017 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia bertengger di urutan ke-36 dari 137 negara di dunia. Tidak buruk-buruk amat memang. Namun melihat potensi bawaan yang begitu besar dari Republik ini, negeri ini seharusnya malu. Pasalnya, masih kalah saing dengan tiga negeri jiran yaitu Singapura (3), Malaysia (23), dan Thailand (32).

Indeks Daya Saing Global sendiri memiliki 12 pilar sebagai aspek penilaian yang dikelompokkan menjadi tiga subindeks. Pertama, subindeks persyaratan dasar yang meliputi pilar kelembagaan, infrastruktur, ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar. Kedua, subindeks penambah efisiensi yang mencakup pilar pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar finansial, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar. Ketiga, subindeks faktor kecanggihan dan inovasi yang terdiri dari pilar penerapan teknik mutakhir dalam bisnis dan inovasi.

Kita boleh sedikit girang. Negeri kita pada tahun lalu berada pada peringkat ke-36. Itu artinya lima langkah lebih baik dibandingkan dengan pencapaian di tahun 2016. Kendati demikian, perbaikan posisi Indonesia jika boleh jujur masih disetir oleh ukuran pasar (9) dan ekonomi makro yang kuat (36).

Meskipun bertengger di peringkat ke-31 dan ke-32 untuk ranah inovasi dan penerapan teknik mutakhir dalam bisnis, Indonesia masih sangat jauh tertinggal dalam kesiapan teknologi (80). Hal lain yang masih mengkhawatirkan ialah parahnya efisiensi pasar tenaga kerja (96) sebagai akibat dari biaya redudansi yang berlebihan, terbatasnya fleksibilitas pengupahan, dan rendahnya keterwakilan perempuan dalam angkatan kerja.

Lalu, apa yang paling menjadi “mimpi buruk” bagi kemajuan ekonomi Indonesia? Di urutan pertama mungkin bisa Anda tebak. Apalagi kalau bukan korupsi. Hal lain yang memperburuk situasi secara berurutan ialah tidak efisiensinya birokrasi pemerintah, akses pembiayaan, payahnya infrastruktur, hingga instabilitas kebijakan.

Dari kedua belas pilar yang menjadi penilaian Indeks Daya Saing Global, sebagai pribadi saya paling trenyuh dengan pilar kelima yang tidak lain ialah pendidikan tinggi dan pelatihan. Pilar ini menilai tingkat penerimaan pendidikan tingkat menengah dan tinggi, kualitas sistem pendidikan, kualitas pendidikan sains dan matematika, kualitas sekolah manajemen, akses internet di sekolah, ketersediaan sarana pelatihan khusus di tingkat lokal, hingga tingkat pelatihan karyawan.

Jika kita perhatikan, dalam tiga tahun terakhir pemerintah bisa dikatakan lumayan dalam hal memperbaiki infrastruktur atau hal-hal fisik. Hal tersebut bisa dilihat dari renovasi sarana dan prasarana gedung di berbagai tingkat. Penggantian (lebih tepatnya penyesuaian) kurikulum pendidikan juga tak terlewatkan. Sayangnya, pembangunan sumber daya manusia justru diabaikan. Akibatnya?

Sederhana saja. Sebaik apapun sistem, secanggih apapun teknologi, dan semegah apapun gedung-gedung perguruan tinggi; belum memberikan dampak yang signifikan bagi “pembangunan manusia”. Buktinya paling mudah kita temukan pada kualitas lulusan Sarjana atau Diploma kita. Dari rendahnya kecakapan memecahkan masalah, buruknya soft skill, payahnya kreatifitas dan penalaran, dan ketidaksiapan dalam menerjemahkan teori yang dipelajari di kelas ke dunia nyata.

Mungkin tidak berlebihan penggalan lirik dari lagu kebangsaan ciptaan W.R. Supratman ini. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Sebuah pesan yang mengingatkan anak bangsa akan pentingnya membangun daya saing. Dimulai dari manusianya.

 

*) Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Portal Inti Pesan, 4 Februari 2018 

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply