Seni Menemukan Panggilan Hidup

Setiap orang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan unik. Itu artinya, tidak ada satu pun individu di dunia ini yang memiliki tingkat kesamaan hingga seratus persen dengan individu lainnya. Menyadari hal tersebut, sudah seharusnya setiap pribadi menjadikan hidupnya luar biasa.

Salah satu kunci untuk mewujudkan hidup yang luar biasa ialah menemukan dan menjalankan “pangggilan” hidup. Apa itu panggilan hidup. Kira-kira bisa diartikan sebagai “sesuatu” yang menjadi dorongan terbesar kita untuk terus diperjuangkan selama hayat masih di kandung badan.

Mengapa panggilan hidup penting? Karena ia menjadi kompas mau dibawa ke mana perjalanan hidup kita. Lantaran ia merupakan sumber energi tak terbatas yang sudah ada di dalam diri kita.

Panggilan hidup ialah kunci kekuatan Nelson Mandela bisa bertahan hingga 27 tahun di dalam penjara. Tanpa panggilan untuk memperjuangkan penghapusan apartheid, mungkin ia tak akan pernah menjadi presiden pertama berkulit hitam di Afrika Selatan. Panggilan hidup ialah jawaban mengapa Steve Jobs bisa membesut berderet mahakarya Apple. Tentu kita masih ingat bagaimana ia memutuskan berhenti dari Reed College, mengikuti kelas kaligrafi di kampus, melakukan perjalanan spiritual di pedalaman India, mendirikan perusahaan, hingga dikeluarkan dan akhirnya memimpin perusahaan yang berlogo “buah apel tergigit” itu.

Panggilan hidup ialah energi Profesor Yohanes Surya dalam upaya “mengangkat derajat” dunia sains di Indonesia. Anda mungkin lebih mafhum bagaimana perjuangan tulus beliau dalam mencetak para “mutiara bangsa” menjadi juara olimpiade fisika internasional hingga mendirikan lembaga pendidikan mulai dari Surya Institute, STKIP Surya hingga Surya University. Keyakinan dengan “Mantra Mestakung”-nya berhasil mampu menarik para ilmuwan papan atas nusantara yang sebelumnya menjadi diaspora untuk kembali mengabdi di bumi pertiwi.

Mungkin pertanyaan yang “berputar-putar” dalam benak Anda ialah bagaimana menemukan panggilan hidup dalam diri kita. Satu hal yang pernah juga saya alami beberapa tahun terakhir. Atas dasar tersebut, saya mewawancarai lebih dari 1.200 orang di 25 kota populer di tanah air dan diaspora di 7 negara yang datang dari beragam profesi mulai dari bankir, jurnalis, penulis, dokter, pengacara, akuntan, artis, petani, pengusaha, pedagang, tentara, polisi, hingga dosen. Dari sisi jabatan ada yang menjabat sebagai CEO, menteri, panglima TNI, juru bicara presiden, rektor, penemu kelas dunia, ulama, bhiksu, dan tentu saja karyawan.

Lantas, apa “benang merah” yang saya dapatkan setelah riset yang memakan waktu lebih dari dua tahun tersebut? Harus jujur saya katakan, ada begitu banyak hikmah. Namun jika dikaitkan dengan panggilan hidup, saya menemukan tiga pertanyaan inti yang bisa membantu kita untuk menemukannya.

 

Isu Apa Yang Paling Anda Pedulikan?

Mungkin terlihat sepele, namun begitulah realitanya. Isu yang paling Anda pedulikan mencerminkan apa yang paling penting bagi hidup Anda. Ia menggambarkan bidang apa yang kemungkinan besar akan Anda perjuangkan kelak. Itu bisa dilihat dari genre buku, majalah dan film apa yang sering Anda konsumsi. Program televisi apa yang sering Anda tonton. Hingga komunitas apa yang ingin atau telah Anda masuki.

Kegelisahan Anda dengan tak terbendungnya pengangguran mungkin mendorong Anda menjadi seorang pengusaha. Kerisauan Anda dengan buruknya sumber daya manusia di negeri ini bisa jadi menginspirasi Anda untuk menjadi  pendidik. Keprihatinan Anda dengan tak terurusnya anak jalanan, pengemis, dan yatim piatu bukan tidak mungkin memanggil Anda untuk menjadi aktivis sosial. Ketrenyuhan Anda melihat amburadulnya Indonesia di segala dimensi bukan tidak mungkin melecutmu untuk menjadi politisi di kemudian hari.

Berangkat dari pertanyaan ini cepat atau lambat Anda bisa menjadi bagian dari solusi. Teruslah “merawat kegelisahan” Anda. Tetaplah berkumpul dengan orang-orang yang “setipe” dengan Anda dalam bingkai komunitas. Dan jadilah penggerak, perintis, pemrakarsa, pemimpin, atau aktor utama yang memperjuangkan masalah-masalah di bidang tersebut.

 

Profesi Apa Yang Anda Nikmati Sekaligus Menjadi Solusi Dari Isu Yang Paling Anda Pedulikan?

Profesi merupakan salah satu bukti jejak kita di dunia. Kendati hidup kita tidak semata-mata bekerja, profesi merupakan salah satu faktor paling penting yang mempengaruhi kebahagiaan kita. Anda bisa memulai dari pengenalan diri sendiri yang lebih baik. Mulai dari aspek kepribadian, kekuatan, minat, passion, dan bakat. Dari sini, Anda bisa lebih mudah memetakan profesi mana yang paling mendekati dari gabungan aspek-aspek tersebut.

Yang perlu kita ingat, profesi ialah salah satu cara untuk menjalankan panggilan hidup. Jadi, ia merupakan sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia lebih mengedepankan proses, bukan hasil. Dengan demikian, sudah seharusnya kita menikmati bagaimana kita melintasi “orbit” sendiri.

Laksana musafir. Ada kalanya kita menapaki jalur nan lurus, menuruni tikungan, berbelok di tengah tanjakan, mundur beberapa langkah, terjatuh, berhenti di perempatan, menyeberangi lautan, tercebur di sungai, melintasi padang pasir, hingga menikmati oase. Di sepanjang lajur tersebut tentu akan ada hujan badai, petir yang sahut menyahut, gerimis, panas terik hingga sesekali pelangi. Silih bergantinya siang ke malam, hingga pagi ke sore terus berpacu mengiringi langkah kita.

Petualangan seorang musafir mendapati oase di tengah padang pasir bak “drama” setiap individu menemukan profesi yang paling sejalan dengan “suara hati”. Jadi, tidaklah heran jika begitu banyak orang yang harus bergonti-ganti profesi hingga bisa dengan lantang mengatakan “Ini nih yang gue cari selama ini!” Yang harus disadari, cepat atau lambatnya “penemuan” profesi yang paling tepat dengan potensi diri, sejalan dengan sejauh mana seseorang mengen diri sendiri.

 

Bagaimana Anda Menghubungkan Mimpi Masa Kecil dengan Orang Yang Paling Anda Kagumi?

          Masa kecil merupakan salah satu masa yang paling mempengaruhi kehidupan seseorang. Dari sini, pondasi kita sebagai pribadi untuk pertama kalinya dibentuk oleh keluarga dan lingkungan. Dengan demikian, kondisi sosial dan budaya berperan besar dalam membentuk pola pikir setiap individu. Kendati kelak pendidikan formal dan pengaruh eksternal lainnya juga turut mewarnai.

Seperti yang telah kita tahu, anak kecil memiliki kreatifitas yang tak terbatas. Ia selalu ingin mencoba hal-hal baru. Tak mempedulikan apakah yang dicoba tersebut berhasil atau gagal, disukai orang lain atau tidak. Singkat kata, anak kecil berani melakukan sesuatu karena mengikuti kata hatinya.

Sayangnya, kreatifitas individu perlahan-lahan terpasung karena sistem pendidikan. Ia sering mendapati label “gagal”, “bodoh”, atau “salah” dari lingkungan yang seharusnya membuatnya lebih berdaya, bukan mengkerdilkan nyalinya. Hal tersebut diperparah dengan label-label yang diberikan oleh orang tuanya sendiri.

Oleh karena itu, ingat-ingat lagi masa kecil Anda. Apakah yang benar-benar Anda inginkan di  masa itu? Apakah ada asa tertentu yang berhubungan dengan isu yang paling Anda pedulikan?

Saya ambil contoh Emil Salim yang saya wawancarai beberapa waktu lalu. Di masa kecil, ia ingat betul bagaimana cerita nyata ayahnya yang merupakan seorang pejabat di era pemerintahan Hindia Belanda hendak membangun jalan di Sumatera Selatan. Warga setempat berpesan kepada ayahnya agar jalur yang dibuat jangan sampai memotong jalan yang dilalui gajah.  Ingatan itulah yang kelak mempengaruhi cara berpikirnya ketika menjabat sebagai Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup dan beragam amanah lainnya. Petuah dari sang ayah untuk melestarikan lingkungan menginspirasi Emil Salim untuk mendirikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI), menyuarakan pembangunan berkelanjutan, hingga mendapatkan The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF) dan Blue Planet Prize dari The Asahi Glass Foundation.

Jika Anda mendapati kesulitan untuk mengingat asa di masa kecil, tengoklah ke depan. Ini bisa Anda mulai dari siapa orang yang paling Anda kagumi. Entah karena profesinya, pengaruh sosialnya, kontribusinya di masyarakat, hingga mungkin bakat dan keterampilannya.

Menemukan sosok yang Anda kagumi membuat Anda terpacu untuk terus-menerus memantaskan diri. Anda memang tidak mungkin meniru mereka apa adanya, karena itu tidak membuat Anda tetap otentik. Justru dari situ Anda bisa  terinspirasi untuk menjadi sosok yang benar-benar Anda inginkan. Seorang individu yang memancarkan potensi terbaik dari dalam diri untuk menciptakan nilai tambah, melayani, membantu, dan menemukan solusi bagi permasalahan di sekitar.

Anda tentu masih ingat dengan kisah nyata Merry Riana – Host & Coach I’m Possible di Metro TV. Sosok yang dikenal setelah meledaknya buku (dan belakangan film) Mimpi Sejuta Dolar tersebut di “masa susah”-nya di Singapura memberanikan diri untuk bertemu dengan Anthony Robbins yang dikaguminya. Ia rela membayar tiket yang begitu mahal untuk menghadiri seminar hingga berfoto dengan pembicara publik sekaligus pengusaha papan atas dari Negeri Paman Sam itu. Karena begitu terinspirasi dari sosok yang dikagumi, Merry Riana tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sukses. Kegigihannya selama menjadi agen asuransi di Negeri Singa bisa menutupi utangnya kepada Pemerintah Singapura yang membiayai studi di Nanyang Technological University (NTU) hingga mendapatkan pendapatan 1 juta Dolar Singapura pertamanya di usia 26 tahun.

Nah dari tiga pertanyaan sederhana di atas, beranikah Anda untuk menemukan dan menjalani panggilan hidup? Apakah Anda terpanggil untuk bertekad memperjuangkan apa yang paling penting dalam hidup Anda ataukah hanya menunggu kejadian-kejadian tak terduga yang kelak membawa “nasib” Anda? Pada akhirnya, semua kembali kepada pilihan. Karena hidup adalan memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana.***

 

***) Artikel ini sebelumnya dimuat di Inti Pesan, 15 Juli 2017

 

 

 

Share on FacebookShare on Google+Tweet about this on TwitterShare on LinkedIn

Leave a Reply